TEMPO.CO, Jakarta - Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo menyebut pembayaran cicilan pokok dan bunga utang Indonesia beberapa tahun terakhir sebenarnya cenderung rendah dan stabil. Kecuali, kata dia, kemungkinan ada kenaikan pada 2020 lalu.
"Realisasinya bisa lebih tinggi karena pandemi," kata Prastowo dalam webinar Kantor Staf Presiden (KSP) di Jakarta, Selasa, 23 Februari 2021.
Selama ini, isu utang memang menjadi bahan kritik utama ke pemerintah Jokowi. Salah satu misalnya datang dari eks staf khusus Menteri ESDM Said Didu. "Perlu diwaspadai adanya mafia utang yg menjebak NKRI karena selain jumlah yang makin besar, juga bunga makin tinggi - bunga jauh lebih tinggi dari bunga utang negara lain," kata dia pada September 2020.
Lalu, ada juga kritikan dari mantan Menko Perekonomian Kwik Kian Gie yang menyoroti obligasi pemerintah Indonesia saat ini laris manis karena pemerintah yang berani bayar bunga tinggi. "Yang bayar bunga yang membengkak terus kan kaum milenial, yang pandai membuat unicorn? perhatikan kalau talk show kan pinter-pinter," kata Kwik Kian Gie pada 4 Februari 2021.
Dalam acara hari ini, Prastowo membeberkan data mengenai utang tersebut.
1. Bunga Utang
Menurut dia, total utang pemerintah terus naik dalam 20 tahun terakhir. Pada 2000, total utang mencapai Rp 1.232,78 triliun dengan pembayaran bunga utang Rp 50,07 triliun (4,06 persen).
Lalu pada 2020, utang Indonesia naik menjadi Rp 6.074,56 triliun dengan bunga Rp 314 triliun (data sementara). Sehingga, persentasenya mencapai 5,17 persen.
Tapi dari 2000 ke 2009, pembayaran bunga utang cenderung fluktuatif. Pernah naik sampai 7,16 persen pada 2002, tapi pernah juga turun jadi 4,39 persen pada 2005. Barulah pada 2010 hingga sekarang, rasionya stabil di rendah 4-5 persen.